JAKARTA: Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM mengemukakan bahwa produk ikan bilih Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat memenuhi syarat sebagai produk indikai geografis.
Menurut Saky Septiono, Kasi Pemeriksaan Formalitas Indikasi Geografis, Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, pihaknya sudah melakukan survai ke Danau Singkarak sejak lima bulan lalu.
Survai tersebut, kata Saky, tidak saja dilakukan terhadap ikan bilih Danau Singkarak, tapi juga ikan di Danau Maninjau. “Produk ikan bilih Danau Singkarak memenuhi syarat sebagai produk indikasi geografis, sehingga layak didaftarkan ke Ditjen Hak Kekayaan Intlektual,”katanya.
Menurut dia, Pemda setempat sangat merespon dan menyiapkan persyaratan sebelum didaftarkan ke Ditjen HaKI. “Pemda cukup respon dan mereka sangat ingin sekali mendaftarkan ikan bilih Danau Singkarak tersebut,”katanya.
Secara resmi, katanya, Pemda setempat belum lagi mendaftarkan produk ikan bilih. Mereka masih dalam persiapan persyaratan seperti pembuatan buku persyaratan dan pembentukan organisasinya.
Ikan bilih hidup di Danau Singkarak. Ikan itu merupakan species yang langka. Danau Singkarak terletak di dua kabupaten Provinsi Sumatera Barat yaitu Kabupaten Solok dan Kebupaten Tanah Datar.
Luas permukaan air Danau Singkarak mencapai 11.200 hektar dengan panjang maksimum 20 kilometer dan lebar 6,5 kilometer dan kedalaman 268 meter.
Danau itu terluas ke dua di Pulau Sumatera setelah Danau Toba di Sumatera Utara.
Saky, mengemukakan bahwa pihak Ditjen Hak Kekayaan Intelektual kini terus melakukan sosialsiasi kepada pemda yang memiliki potensi penghasil produk indikasi geografis, tidak saja produk perkebunan, tapi juga produk perikanan. “Potensi kita sangat besar, tinggal kemauan dari Pemda untuk mendaftarkannya,”katanya.
Dia mengungkapkan bahwa sejak pemerintah mulai menerima pendaftaan produk indikasi geografis pada September 2007 hingga kini sudah ada tujuh sertifikat indikasi geografis asal dalam negeri yang diterbitkan.
Produk tersebut adalah Kopi Gayo (Nanggroe Aceh Darussalam), lada putih Muntok (Bangka), ukir Jepara (Jawa Tengah), Kopi Arabika Kintamani (Bali), Tembakau Mole dan Tembakau Hitam dari Sumedang, Jawa Barat.
“Tembakau Mole dan Tembakau Hitam Sumedang baru saja menerima sertifikat indikasi geografis dari pemerintah,”katanya.
Pada 2009, hanya ada satu sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah yaitu untuk produk indikasi geografis kopi Arabika Kintamani Bali.
Tahun 2010 memiliki catatan tersendiri bagi Ditjen Hak Kekayaan Intelektual karena selama tahun 2010 berhasil menerbitkan empat sertifikat produk indikasi geogrfis, sedangkan sampai Mei tahun 2011 baru ada dua sertifikat yaitu Tembakau Mole dan Tembakau Hitam Sumedang, Jawa Barat.
Saky mengakui bahwa permohonan pendaftaan indikasi geografis dari dalam negeri hingga kini masih sedikit. Padahal, tegas Saky, potensi yang dimiliki oleh Indonesia sangat besar.
”Banyak komoditas perkebunan dan pertanian Indonesia yang memiliki potensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis,” katanya.
Menurut Saky, tidak saja produk perkebunan yang bisa didaftarkan, tapi juga produk hasil kerajinan dan perikanan. “Bandeng asap Sidoarjo juga sudah didaftarkan, tapi masih dalam proses,”katanya.
Dia mengakui masih banyak masyarakat kurang paham tentang manfaat pendaftaran indikasi geografis. ”Pendaftaran produk itu akan memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada para stake holders yang terlibat seperti petani dan eksportir.”
Selain itu, katanya, pendaftaran produk berindikasi geografis itu juga merupakan bagian dari strategi marketing, sehingga produknya bisa lebih mahal dari produk sejenis.
Yang lebih penting, ujarnya, bila produk sudah terdaftar, tidak boleh sembarang orang menempelkan label pada produk itu.
Konsumen, menurut dia, bersedia membeli harga komoditas bersertifikat indikasi geografis lebih mahal karena sudah ada standar kualitas dan keunikan dari produk itu sendiri. (soe)
Ya, mungkin karena itu